Malam ini bulan seperti tak ingin menampakkan wajahnya, bintang yang tadinya bersinar tak terlalu terang tertutup awan yang terbawa angin dari barat daya.
Listrik mati di pulau penuh energi seperti sudah menjadi pengantar malam setiap latihan di lapangan ini. Aku berbaring menatap langit berawan. Termenung mendengarkan apa yang dikatakan pelatihku.
Cerita yang sebelumnya selalu aku gembar-gemborkan pada dunia tentang diriku, tentang keluargaku. Ya, cerita tentang ibu.
Pikiranku terbang, melayang membayangkan apa yang aku lakukan sampai saat ini. Aku selalu menyalahkan keadaan. Tanpa aku peduli apa yang dulu dan nanti terjadi.
Sudah lebih dari 7 bulan aku jauh dari rumah, menjalani proses mewujudkan mimpi yang tanpa aku sadari aku sendiri yang merangkainya. Emosi dan keegoisan membutakan mata hati, membuatku selalu percaya ini bukan mauku, bukan keinginan dan jalan yang aku pilih.
Teringat lagi sebulan yang lalu, terakhir kali aku pulang ke rumah. Aku selalu mencari barang favoritku, laptop. Tak sengaja aku temukan sebuah buku yang akupun tak mengerti apa maksudnya. "99 Cara Mengerti Anak", judul yang sudah sedikit aku lupa. Entah ini yang membuat ibuku sedikit lebih lembut atau entahlah.
Bertemu dengan ibu, sesuatu yang selalu membuat aku canggung dan merasa aneh. Kini saat bertemu atau saat di rumah jarang sekali aku dengar ibu meninggikan suaranya seperti dulu, bahkan aku tak pernah lagi mendengarnya menegurku ketika menghabiskan makanan yang ia bawa.
Aku mulai tersadar dari lamunanku, tak terasa mataku mulai berkaca, air mata tak dapat lagi kutahan. Untung lampu masih belum menyala, jadi aku tak perlu malu untuk menyeka airmata. Kuambil hp dari dalam tas, kembali lagi aku rebahkan diri di lapangan ini.
Mencoba menghilangkan sejenak fokus pada pembicaraan coach-ku, ku mainkan game favoritku. Ah, masih tak bisa. Hatiku masih terasa ngilu, ku buka aplikasi favoritku selanjutnya, piano. Mulai ku memainkan jemari, menekan not nada secara acak. Entah sadar atau tidak, aku mulai memainkan lagu bunda.
Air mata kembali menetes, mengalir dari sisi mataku. Ku resapi setiap dentuman nada yang ku mainkan sendiri. Meresapi setiap cerita tentang ibu.
Kembali aku merenung, oh Tuhan apa yang sudah aku kira tentang ibuku? Bagaimana bisa aku tak bisa mengertinya, mengerti dia yang walau dengan kerasnya berusaha mengerti aku? Maafkan aku yang tak pernah bersyukur memiliki ibu sepertimu bu.
Kini aku tahu betapa berharganya kehadiranmu, betapa pentingnya dirimu dalam kehidupanku. Aku akan belajar mendekatkan diriku denganmu, menghancurkan egoisku yang selama ini membutakan hati dan pikiranku. Oh ibu, tidak ada seorangpun yang dapat menggantikan hadirmu.
Entah bagaimana aku harus mengungkapkan rasaku untukmu bu, mungkin jika ada kalimat yang lebih bermakna daripada sekedar AKU SANGAT MENCINTAIMU, itulah yang bisa menggambarkan perasaanku, IBU.
Dari anak perempuanmu yang kini berusia 18 tahun.~
0 komentar:
Posting Komentar