Selasa, 17 November 2015

IBU


Ibu, sosok yang mungkin paling kurindukan saat ini. Bukan karena dia tidak ada, tapi karena kasih sayangnya tak pernah bisa dimengerti oleh seorang gadis kecil yang belum dewasa ini. Ya, Ia sangat keras kepala. Sampai-sampai aku yang sudah berusia 17 tahun ini tak mampu menangkapnya dalam logika.

Aku dan Ibu, layaknya dua orang yang tak saling mengenal atau setidaknya hanya kenal biasa. Ibu, orang yang sibuk dengan kesibukannya, jadwal hariannya sangat padat. Bahkan hari libur pun tak menjamin ia berada di rumah. Aku tahu itu salah satu caranya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Tapi tetap saja aku masih tak bisa mengertinya.

Aku dan Ibu, dua orang wanita yang sangat jarang saling menyapa. Mungkin itu yang membuat kami semakin menjauh. Keegoisan, keras kepala, dan selalu ingin dimenggerti adalah kesamaan yang kami miliki.

Tahukah engkau, bu?
Anak gadismu ini pernah salah arah, pernah salah langkah, pernah masuk ke dunia yang mungkin engkau sendiri tak pernah membayangkannya. Kecewa pasti jika kau tahu apa yang pernah aku alami, tapi percayalah bu anakmu ini tak pernah bermaksud seperti itu.

Kadang saat aku melihat mereka yang bisa dekat dengan orang tuanya terutama ibunya, aku sangat iri bu. Tapi tak lama aku menjadi merasa sangat hina, saat melihat orang yang bisa bahagia walau ibunya tiada. Aku merasa sangat tidak bersyukur, sangat tidak berterimakasih pada Tuhan. Bagaimana tidak, aku masih punya orang tua lengkap, aku punya ibu dan ayah. Aku tak ingin lagi menyalahkan keadaan, tak ingin lagi berharap terlahir dalam keluarga berbeda, tak ingin lagi lari dari kenyataan bahwa engkau adalah ibuku.

Aku tahu betul bahwa cinta dan kasih sayang memang tak harus selalu diucapkan dengan kata. Tapi setidaknya aku juga memerlukan itu bu. Aku membutuhkanmu disampingku. Aku juga tahu betul bahwa cinta dan kasih sayang itu bisa berbentuk apa saja, tapi tahukah engkau ibu saat engkau berkata kasar padaku atau saat kau berlaku kasar padaku saat itu juga aku semakin menutup diri darimu. Aku takut ibu.

Ibu, aku ini hanya anak kecil yang merindukanmu. Merindukan pelukkan hangatmu, sentuhan lembut tanganmu, dan ucapanmu yang mampu menenangkan jiwaku yang sedang beranjak dewasa ini. Bu, bisa kita seperti mereka di luar sana? Bisakah kita berbicara bebas berdua tanpa ada rasa canggung? Bisakah kau tak berlaku kasar padaku? Bisakah kau memberikan kasih sayangmu dengan cara yang bisa aku mengerti? Bisakah bu? Atau setidaknya ajari aku caranya mengerti dirimu.

Aku ini hanya anak gadis berusia 17 tahun yang ingin tumbuh dewasa bersama kasih sayangmu Ibu.~ HFW

Minggu, 25 Oktober 2015

Crazy Boy

Saat jam pelajaran berlangsung, seperti biasa aku berada di atap, menatap kosong ke arah siswa yang sedang olahraga. Aku ini anak dari pemilik sekolah ini, anak yang menjadi ketidakdewasaan orang tuanya, anak yang dianggap gila dan bodoh. Selain tidur di kelas, membolos juga merupakan bentuk dari kesepianku.
 
Seseorang mengejutkanku....
"Hei..." Aku langsung berbalik, ternyata beliau adalah wali kelasku, seorang guru matematika yang juga sangat mengenalku dan ayahku.
"Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu pak?" Aku langsung bisa menebak, kami cukup akrab tentunya.
"Kamu sendiri?" Beliau balik bertanya.
"Haruskah kita saling bercerita?" Tanyaku.
"Haruskah? Baiklah, aku dulu." Sambil menarik nafas.
"Tanganku ini sangat kotor, ada seseorang disampingku yang terjatuh dengan tangan bersih. Tapi apa aku punya hak untuk memegang tangan mereka dan membantu mereka berdiri?"
(Sambil menepuk-nepukkan tangan) "Memangnya harus ada hak untuk membantu seseorang? Jika tanganmu kotor, kamu masih bisa memegang tangannya lalu kalian bisa mencucinya bersama bukan?" Entah apa yang aku pikirkan tapi itu keluar begitu saja dari mulutku.

Who are you? School : 2015.~

Minggu, 18 Oktober 2015

TITIK BALIK


              Jam berdentang dua kali, menunjukkan bahwa sekarang sudah pukul 2 pagi. Aku masih terjaga bersama film yang sedang kuputar di laptopku. Malam semakin larut, sunyi sudah sejak tadi menghampiri, bahkan suara jangkrikpun tak lagi menemani. Tiba-tiba aku mendengar suara sepeda motor seperti berhenti di depan rumah, aku mulai gemetar, takut dan gugup pun mulai bersatu padu. Pikiranku melayang tak tau entah kemana, aku mulai berprasangka buruk. Tak lama kemudian suara kendaraan itu terdengar seperti berjalan menjauh. Aku mulai tenang.
“Tok...tok...tokk”. Tiba-tiba aku mendengar suara orang mengetuk pintu beberapa kali. Perasaanku yang tadinya mulai tenang kini semakin gelisah tak menentu, otakku kembali menampilkan imajiasi-imajiasi gila. Aku tak bisa lagi berpikir, badanku terasa kaku tak bisa bergerak. Ku matikan laptopku. Suara ketukkan itu sudah tak lagi terdengar, namun pikiranku masih liar. Yang ada dipikiranku itu mungkin adalah perampok yang ingin merampok sekaligus membunuh keluargaku.
“Yah...” Aku memberanikan diri keluar kamar dan memanggil ayahku.
“Hmm... Ada apa?” Ayahku menyahut pelan, mungkin karena masih terlarut dalam mimpi-mimpinya.
“Tadi kayaknya ada orang ngetuk pintu, yah.” Aku bicara apa adanya.
“Ah mungkin itu cuma perasaan kamu saja nak.” Sahut ayahku dari dalam kamar.
“Benar yah, aku gak bohong.” Jawabku dalam kondisi ketakutan.
“Sudah, tidur sana. Itu pasti gara-gara kebanyakan begadang.” Ibu mulai berkata.

            Dengan perasaan yang masih tak menentu, aku mulai menerima saran ibuku. Tapi aku tak berani masuk ke dalam kamar sehingga aku putuskan untuk tidur di ruang keluarga. Mulai kunyalakan tv dan berbaring di sofa panjang. Bukannya semakin tenang, perasaanku makin gelisah, semakin dihantui bayangan tentang kematian dan pembunuhan. Acara tv tak satupun yang bisa mengalihkan pikiran-pikiranku yang amat manakutkan itu.
“Yah, tetap gak bisa tidur.” Aku kembali berteriak di depan kamar ayah ibuku. Tak lama kemudian ayah keluar dan menemaniku tidur di ruang keluarga.
“Baca surah An-Nas.” Kata Ayahku sembari memijat kakiku.
Aku membaca surah An-Nas dalam hati berkali-kali, tapi tetap saja tak bisa tidur. Jam sudah menunjukkan pukul 05.00 WITA, tapi mataku masih saja terjaga. Bayangan tentang kematian itu semakin menjadi-jadi, aku mulai berpikir aku akan masuk neraka dengan begitu banyaknya dosa yang aku perbuat, bahkan kalian tahu? Mungkin terakhir kali aku sholat itu saat kelas 1 SMP, saking lamanya aku sampai lupa baca-bacaan sholat. Aku mulai berpikir bagaimana caranya aku bisa menghapus atau setidaknya mengurangi dosaku, terbersit jelas dibenakku untuk bertobat dan kembali kejalan yang benar-benar lurus. Sejak saat itu aku berjanji dalam hati untuk belajar tata cara sholat dan mulai mengaji lagi.

            Oh ya aku sampai lupa, perkenalkan namaku Hafizah Fikriah Waskan. Sampai saat ini mungkin aku sudah mengoleksi lebih dari 100 nama panggilan, tapi kebanyakan memanggilku Hafizah atau Waskan. Aku lahir dan dibesarkan di keluarga yang menurutku sangat sibuk, bahkan kita hampir tak punya waktu untuk berbicara satu sama lain. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara, umurku baru menginjak 17 tahun dan aku anak perempuan satu-satunya. Saat aku lahir, bidan yang membantu persalinan ibuku mengatakan bahwa aku ini berjenis kelamin laki-laki karena tertutup tali pusar sampai ayahku memberiku Muhammad tapi belum sempat memotong tali pusar sang bidan menyadari bahwa aku ini ternyata perempuan, dan akhirnya namaku langsung diganti menjadi Hafizah. Itu sekilas yang kutahu dari cerita ayahku, mungkin karena itu juga aku jadi se-tomboy sekarang. Besar dalam keluarga yang tak terlalu fanatik dengan agama membuatku tumbuh dalam belenggu kebutaan tentang agama, meski tak sepenuhnya buta, mungkin bisa dibilang hanya katarak saja.

Masa liburku tinggal beberapa hari, sudah hari jum’at dan senin sudah harus kembali bersekolah dengan status baru, siswa kelas XII. Ini sudah hampir seminggu dari kejadian itu, tapi rasa takut masih saja menghantui hari-hariku, sampai aku tak tahan lagi untuk membagi rasa ini dengan ayahku. Beberapa jam saja terasa berhari-hari bagiku untuk menunggu ayahku pulang dari kantornya. Akhirnya ayah dating.
“Yah, Rasanya gak enak banget. Rasa kepikiran bentar lagi mau mati.” Ucapku tergugup-gugup.
“Ah itu mungkin cuma perasaan kamu saja.” Ayahku menjawab dengan santainya.
“Coba pegang telapak kaki kamu, dingin gak?” Ayah menyuruhku.
“Iya, lumayan dingin yah.”Balasku.
“Wah mungkin itu hanya efek maag dan stress, makanya kamu jangan begadang-begadang lagi.” Tebak ayahku.

            Beberapa waktu berlalu, hari-hariku masih dihantui bayangan kematian dan neraka yang selalu menghadang mengiringin setiap langkahku. Hari itu hari pertama sekolah di semester 5, tepatnya semester 1 untuk kelas XII. Aku kira sekolah bias membuat perasanku lebih baik, ternyata bukannya semakin baik tapi malah semakin parah. Tiap ada kesempatan aku selalu berusaha menelfon kedua orang tuaku, entah kenapa saat jauh dari mereka perasaan takutku semakin tinggi dan semakin menghantui pikiranku.
“Waskan, kamu kenapa?” Tanya Laili, teman akrab yang duduk bersampingan denganku.
“Gak papa kok, emang kenapa?” Aku bertanya balik.
“Gelagatmu aku lihat kayak cacing kepanasan, terus mukamu juga pucat.” Lanli menjawab dengan nada setengah bertanya.
“Gakpapa, mungkin efek gugup jadi murid kelas XII. Hehe” Aku tertawa kecil.
“Oh yasudah kalau begitu, misalnya kamu perlu bantuan bilang ya.” Ucapnya.
“Iya.” Jawabku singkat.
Aku tak bisa berpikir logis, pelajaran tak ada satupun yang masuk ke otakku. Pikiranku selalu saja melayang-layang, sebentar memejamkan mata itu artinya aku harus siap merasakan ketakutan yang luar biasa.

            Tertahan, ingin teriak tapi tak bisa berucap. Mungkin sedikit menggambarkan perasaanku saat itu. Hari-hari disekolah kulewati dengan kegelisahan, keringat dingin, dan ketakutan. Ayahku mulai tak nyaman melihat kondisi yang semakin hari semakin parah saja. Sampai memintakan air pada guru spiritualnya, sampai meminta guru bimbingan konselingku, Pak Sarwani namanya, beliau juga merupakan guru ayahku waktu SMA untuk mengetahui apa sebenarnya masalahku.
“Begini nak, bapak dapat laporan dari ayah kamu. Katanya kamu lagi ada masalah ya? Ayo gak usah sungkan-sungkan cerita sama bapak.” Pak Sarwani mulai membuka pembicaraan.
Aku mulai menceritakan yang sebenarnya aku rasakan, aku berusaha jujur. Walaupun aku rasa ini sangat memalukan, tapi setdaknya kalau au berbagi mungkin ada solusi.
“Justru kalau kamu ingat mati itu baik, kita jadi lebih berhati-hati untuk melakukan sesuatu dan itu juga dianjurkan dalam islam.Orang mau mati itu gak akan ingat mati.” Kata bapak Sarwani menanggapi ceritaku.
Sejak saat itu aku merasa sedikit lebih tenang. Tapi masih dalam bayangan kematian, rasa takut itu semakin menjadi-jadi ketika aku berada jauh dari kedua orang tuaku.

            Aku punya pacar namanya Wian, setiap malam semenjak kejadian yang membuat aku merasaan akan segera mati itu aku mulai menjauhinya, aku mulai jarang menghubunginya, bahkan setiap hari aku selalu berbicara bahwa aku tak ingin pacaran lagi tapi tidak minta putus. Sampai suatu hari, setelah aku mempertimbangkan dengan sangat matang dan menggali lebih dalam tentang pacaran dalam islam, aku akhirnya memberanikan diri minta putus darinya.

            Hari ini tepat 375 hari kami menjadi sepasang kekasih, sebenarnya aku sudah ingin mengakhiri hubungan ini saat hari jadi kami yang pertama. Tapi pasti itu akan sangat menyakiti hatinya.
Semua telah berakhir, tak mungkin bisa dipertahankan…
Hanya luka jika kita bersama, karena jalan ini memang berbeda…
Semua yang terjadi tak akan kembali, jalan kita memang berbeda…
Namun hati ini tak ingin kembali…
Kuyakin kita ‘kan bahagia tanpa harus selalu bersama…
Tak perlu disesali, tak usah ditangisi…
Catatan suaraku menyanyikan Lagu Jalan Terbaik dari Seventeen ku kirim, ini masih terlalu pagi ya aku tau dipasti belum bangun. Sekitar 10 menit kemudian,
“Apa maksud ikam ngirim voice note keitu? Handak ikam apa?” Dia bertanya apa maksud dan tujuanku mengirim catatan suara seperti itu.
“Maaf, aku bujuran kada handak pacaran lagi. Aku takutan. Aku handak bujur-bujur belajar islam. Tapi aku kada handak kita bemusuhan, aku handak kita tetap bekawanan.” Aku menjelaskan bahwa aku tak ingin lagi pacaran dan ingin belajr tentang islam, dan aku ingin tetap menjadi temannya.
“Ok, mun kahandak ikam keitu.” Aku seperti mendengar suara tangis tertahan, aku tau hatinya pasti sangat hancur. Sama saja hatiku juga hancur, tapi aku tahu Allah pasti memberikan jalan dan kebahagian untukku.

            Aku masuk sekolah seperti biasa, iya masih dalam ketakutan walau sudah lebih lega. Aku masih sering menelfon ayahku. Sepulang sekolah aku langsung menuju rumah, diperjalanan aku terbayang lagi, ketakutan yang luar biasa kembali menghantui. Laju kendaraan mulai ku turunkan, aku mulai berhati-hati. Tak henti-hentinya ingatanku mengingat pada satu janji, aku akan belajar sholat dan itu belum aku tepati. “Baiklah, aku harus belajar secepatnya.” Ucapku dalam hati.

            Aku mulai mencari buku cara sholat ditumpukkan buku-buku lamaku untung saja aku menemukannya. Kubaca dan aku pahami setiap langkah, pertama aku belajar berwudlu. Tidak terlalu mudah memang, ditambah lagi daya ingat otakku tidak berjalan dengan sempurna. “Ini baru wudlu, gimana sholatnya ya?” pikirku singkat. Tapi aku tetap berusaha belajar, mulai teratur semuanya meskipun kadang suka lupa niatnya. Bersamaan dengan itu juga aku mulai belajar sholat, tidak langsung praktik tapi mulai dari menghafal bacaan dan artinya. Setelah aku rasa cukup, aku mulai mempraktikkannya. Mungkin banyak kesalahan, tapi seiring berjalannya waktu aku sedikit demi sedikit belajar dan mencari tahu seperti apa sholat yang benar itu.
“Waskan, ayo kita ke masjid.” Ajak seorang teman akrabku, namanya Adelya Rahmah tapi cukup panggil dia Adel saja.
“Ayo!!” Aku menyahut dengan penuh semangat, walau masih gugup karena baru belajar sholat dan takut kalau seandainya ada yang salah.
Dalam posisi sholat, aku sangat gugup. Bagaimana tidak, aku baru pertama kali ini sholat bersama teman walau tidak berjamaah, aku semakin gugup saat melihat temanku sudah selesai sholat padahal aku baru masuk rakaat kedua. Harap dimaklumi, aku masih belum bisa khusyuk dalam sholat dan masih harus belajar banyak.
“Del, kamu kok sholatnya cepet banget?” Aku bertanya. Adelpun menjelaskannya.

            Hari-hariku kini terasa lebih tenang, pikiran-pikiranku tentang kematian dan ketakutan mulai bisa kujinakkan meskipun tak sepenuhnya. Kini aku lebih dekat dengan Allah, Tuhanku yang maha segalanya. Pernah beberapa kali ketakutan itu muncul kembali, tapi dalam situasi dan kondisi dimana aku mulai membelok lagi, mulai melenceng dari jalan kebenaran.

            Bukan hanya hidup lebih tenang, aku bahkan tak menyangka bisa menjadi juara kelas bahkan juara 2 untuk nilai ujian nasional jurusan IPA di sekolahku, meski hanya masuk 10 besar kabupaten tapi aku sangat bersyukur. Seingatku aku sudah tidak pernah mendapatkan juara 1 atau juara 2 semenjak SMP, padahal dulunya aku selalu juara pertama di SD. Kalaupun dapat ranking 2 itu juga harus berbagi tempat dan akhirnya terlempar menjadi yang ketiga.

            Semenjak perubahan itu juga aku lebih sering mewakili sekolahku untuk bermacam lomba dan kegiatan, awalnya dulu mungkin hanya dua bulan sekali. Tapi sekarang bahkan aku pernah dalam sehari mengikuti dua lomba sekaligus dalam 1 hari dan itu berbeda kota. Bahkan teman-temanku memberiku gelar “Ratu Dispens”.

            Pernah sekali aku mulai lelah, mulai hilang arah, mulai gundah lagi, saat itu aku mengikuti beberapa test kuliah dan hasilnya nihil. Tapi saat aku melaksanakan kewajibanku, prestasiku terus saja naik bahkan tanpa usaha yang berarti selain sholat dan doa, aku sampai berpikir kalau sholat saja bisa membuatku begini, bagaimana jika aku tambah dengan usaha keras? Pastinya akan sangat memuaskan dan melebihi yang aku harapkan. Dan Kini aku percaya dan yakin bahwa Janji Allah itu nyata.

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.” QS. AL-Baqarah (2: 153)

Selasa, 06 Oktober 2015

Kabut Asap, Bahaya yang Jadi Penyelamat



       Berat rasanya harus berpisah dari seorang yang sangat aku cintai, seseorang yang selalu mengerti dan tahu bagaimana caranya menyayangi.

    Namanya Ahya, cinta pertamaku. Entahlah, orang bilang ini hanya cinta monyet, cinta anak SMP yang baru beranjak remaja tapi aku rasa dia yang terbaik dari segalanya. Hari ini tepat 1 tahun kami menjadi sepasang kekasih, tapi ada sesuatu yang mengganjal dihatiku.
“Ya, ada yang ingin aku sampaikan.” Ucapku ragu-ragu.
“Ada apa?” Tanya Ahya.
“Setelah pengumuman kelulusan aku harus ikut ayah ibuku pindah ke Riau.” Aku mulai gugup menantikan respon dari Ahya.
“Kamu serius?” Ahya hanya bertanya singkat, mungkin dia sudah mengerti pekerjaan ayahku.
“Iya, ayahku harus pindah tugas ke Riau dan ayahku ingin aku ikut bersamanya dan melanjutkan sekolah disana.” Mataku mulai berlinang.
“Baiklah, aku tak mungkin juga memaksakan kehendakku hanya karena aku mencintaimu. Kalau kita jodoh, nanti pasti akan kembali lagi.” Ahya mengusap air mataku yng mulai jatuh.

Setelah pengumuman kelulusan, seperti yang telah direncanakan sebelumnya aku harus pindah. Semua sudah disiapkan, aku akan pergi meninggalkan tanah Kalimantan. Berat rasanya tapi, aku harus kuat menjalaninya.

Oh ya, namaku Hafizah Fikriah Waskan. Aku anak pertama dari 3 bersaudara dan aku anak perempuan satu-satunya. Jadi wajar saja aku sangat disayang dan dimanja. Ayahku bahkan tak ingin terpisah jauh walau hanya beda pulau.

            Hari demi hari terus berlalu, sudah terhitung 3 tahun sejak kepergianku meninggalkan tanah Kalimantan. Banyak lelaki yang mendekatiku, berusaha merebut perhatian dan kasih sayangku, namun tak ada satupun yang berhasil singgah dan menetap dihatiku.

      Sudah beberapa bulan ini kondisi udara di Riau semakin memburuk, entah hutan yang terbakar atau sengaja dibakar aku tak tahu penyebab pastinya. Kondisi kesehatanku mulai memburuk, Ujian Nasional sudah kulalui dan akhirnya ayah dengan berat hati menyuruhku kembali ke Kalimantan dan melanjutkan studiku disana. Awalnya aku menolak, aku tak bisa jauh dari ayah Tapi kerena pertimbangan yang matang akhirnya aku mengiyakan permintaan ayah.

                Kalimantan? Ya, tempat dimana dulu aku pernah membuat cerita cinta luar biasa dengan seseorang yang kini aku tak tahu ada dimana.

       Aku diterima di Universitas Lambung Mangkurat, tepatnya dijurusan Pendidikan Matematika. Hari ini pra-ospek, semua mahasiswa baru program studiku dikumpulkan, ada satu yang menarik perhatianku. Seperti aku sangat mengenalinya, tapi aku terlalu malu untuk bertanya.

     Ini saatnya semua orang mengenalkan diri, tiba giliran si cowok itu. Astaga, aku tak bisa berkata apa-apa. Ternyata dia, orang itu, orang yang pernah menjadi pelita hatiku. Ya, dia adalah Ahya. Sejak saat itu kami kembali akrab, dan akhirnya memutuskan untuk kembali menjalin kasih.

Selasa, 15 September 2015

CINTA SEJATI

Itu bukan cinta...
Hanya sekedar rasa sementara
Itu bukan cinta...
Hanya sekedar nafsu belaka
Itu bukan cinta...
Hanya sekedar untaian kata

Nyatanya...
Bukan kau yang jadi prioritasnya
Nyatanya...
Bukan kau yang selalu ada dipikirannya
Nyatanya...
Bukan kau yang ada dihatinya.

Kau...
Hanya sebatas pelepas sepi
Kau...
Hanya sebatas pelarian diri
Kau...
Hanya sebatas rasa yang nyatanya tak abadi
Dan nyatanya kau...
Bukan orang yang dia anggap cinta sejati

Kamis, 18 Juni 2015

Dream, Believe, and Make It Happend ( 2 - End )

Aku tak ingat apa-apa lagi. Begitu sadar, aku sudah berada di rumah sakit, aku melihat ibuku yang berada di samping menangis sambil memegangi tanganku.
“Bu, apa yang terjadi denganku? Aku dimana sekarang?”. Aku mulai bertanya-tanya.
“Kamu ada dirumah sakit nak, kamu tak sadarkan diri dari 2 hari yang lalu karna tabrakan”. Ujar ibu menjelaskan dengan nada rendah.
“Aaaa....”. Kepalaku terasa begitu sakit, aku mencoba bangun tapi tak bisa. Otot-otot rangkaku seperti tak berada pada tempatnya dan hampir tak bisa digerakkan. Aku menangis, aku memikirkan bagaimana nasib sekolahku nanti. Aku yang saat itu harusnya ikut tes, malah terbaring lemah di rumah sakit.
“Ibu, bagaimana dengan tesku? Apa yang harus aku lakukan?” Aku menangis lebih kencang.
“Sudah nak, ibu akan mengusahakan yang terbaik untuk kamu. Kamu tenang saja disini, cepat sembuh sayang”, Ibuku menenangkanku dan berjanji akan mengusahakan agar aku bisa ikut tes susulan. Perjuangan ibuku mengalami sedikit kendala, karena kami bukan dari keluarga yang berada. Ya tahu sendirilah bagaimana kehidupan dizaman sekarang ini, uang adalah segalanya.

Awalnya ibuku seakan menyerah dengan keadaan, tapi mengingat tekad dan kemauanku untuk menjadi dokter sangat kuat. Ibu mengesampingkan rasa egonya dan memohon pada kepala sekolah untuk memberikan kebijaksanaannya. Perjuangan ibu tak sia-sia, kepala sekolah menyetui permohonan ibu. Dan menyuruhku untuk datang satu minggu lagi.

Ibu memberitahukan kabar gembira itu, akupun sangat senang. Aku mengikuti semua saran dari Pak Dokter, agar aku bisa cepat pulih. Aku ingin sekali memakai baju seperti yang dikenakan Dokter itu, aku ingin membantu mereka yang kurang mampu seperti aku agar mereka bisa menjalani hari dengan terus tersenyum.

Hari yang ditentukan telah tiba, aku sangat bersemangat hari itu. Aku berangkat pagi sekali, aku tak ingin terlambat. Tepat jam 10, aku telah menyelesaikan soal tes kedua yang tertunda itu. Sekarang tinggal menyelesaikan dua tes lagi, tes wawancara dan tes kesehatan. Sekitar jam 2 siang, tes pun selesai. Tinggal menunggu hasilnya saja.

Hari demi hari terus berlalu, aku tak sabar mengetahui hasil perjuanganku. Akhirnya hari yang ku tunggu-tunggu tiba. Pagi itu aku sudah bergegas pergi ke sekolah, padahal setahuku pengumumannya baru diumumkan sekitar jam 11. Sambil menunggu pengumuman, aku berkenalan dengan beberapa siswa yang juga menunggu pengumuman. Satu yang paling ku ingat, Febby. Orangnya supel dan kelihatannya pintar. Gayanya yang santai dan asik diajak ngobrol juga membuatku mulai akrab dengannya. 3 jam terasa waktu yang singkat karena gurawan serta candaan-candaan yang Febby buat. Akhirnya pengumuman pun ditempel.

Astaga !! Aku tak bisa mempercayai ini. Namaku berada di 10 besar! Yang benar saja, tidak ada yang menyangka bahkan aku sendiri tidak dapat mempercayainya, orang yang dulu di Sekolah Menengah Pertama tak pernah masuk 10 besar di kelas bisa masuk 10 besar di sini. Mungkin inilah yang sering orang bilang bahwa hasil tidak akan mengkhianati proses, ya aku percaya itu.

Akhirnya perjuanganku tidaklah sia-sia. Aku berhasil masuk di SMK yang memang aku impi-impikan sejak dulu. Aku sangat berterima kasih pada Restya yang selalu memotivasi dan membantuku. Dia adalah orang yang menurutku sangat berjasa untuk masa depanku. Walau kini kami jarang bertemu, karena kabar darinya dia dan keluarganya sekarang sudah pindah ke Surabaya dan sekolah di sana. Aku akan merindukanmu sahabatku tersayang, Restya.

Tentang Febby, dia kini yang menjadi sahabatku. Namun tetap saja tidak ada yang bisa menggantikan jasa-jasa Restya yang sampai kini masih terbayang jelas di benakku. Bagaimana perjuangan dia untuk mengajariku yang bisa dibilang bandel dan susah dibilangin. Dia juga rela hujan-hujanan menjemputku untuk les. Ya, itu lah Restya sahabat terbaikku.

Sering aku berpikir, mengapa bisa begini? Orang yang bisa dibilang rata-rata bisa sampai sejauh ini. Tapi ya sudahlah, karena itu juga aku menjadi bersemangat belajar, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku percaya suatu hari nanti aku akan menjadi seorang dokter yang dapat mengobati dan membantu orang-orang yang memerlukan.

Seperti yang Ayahku selalu katakan “ Saat kamu bermimpi tentang hal baik, percayalah, dan berusahalah membuatnya menjadi nyata. Karena orang yang sukses luar biasa adalah orang-orang yang perkataannya sederhana, tapi tindakannya luar biasa ’’ .

Mimpi tak akan menjadi kenyataan jika tak ada kemauan untuk mewujudkan.

THE END

Rabu, 17 Juni 2015

Dream, Believe, And Make It Happen ( 1 )

Bermimpi, Percaya, dan Buat Semuanya Menjadi Nyata
By : Febby Restya Elghia Putri

"Mengetahui saja tidak cukup, kita harus mengaplikasikannya. Kehendak saja tidak cukup, kita harus mewujudkannya dalam aksi." Leonardo da Vinci
Kata-kata itu selalu terngiang di telingaku, ya aku harus bisa mewujudkan mimpiku.

Namaku Raisya, saat ini aku merupakan murid kelas XI Analis 5 di SMK Kesehatan di Jakarta. Aku memang bukan berasal dari keluarga yang berada, ayah dan ibuku hanyalah seorang guru SD. Dari kecil aku selalu bermimpi bisa menjadi dokter, aku ingin membantu orang sakit yang tak punya biaya. Aku ingin sekali membuktikan bahwa menjadi dokter tidak harus kaya.

Perjuanganku untuk mewujudkan mimpiku berawal saat aku mendaftar di salah satu sekolah kesehatan favorit. Untuk masuk seleksi awal saja tidaklah mudah, bahkan aku tak menyangka bisa lulus dan diterima disini. Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama aku termasuk siswa biasa saja, karena memang SMP ku itu merupakan sekolah yang rata-rata siswanya adalah siswa yang sangat pintar. Bahkan dalam tes IQ pertama masuk, ada beberapa yang IQ-nya diatas 140, IQ rata-rata orang genius.

Saat pengumuman kelulusan aku bahkan tidak masuk 20 besar, namun cita-citaku untuk menjadi dokter tak goyah. Aku mulai intens mengikuti les IPA, terutama untuk Biologi. Aku juga sering melalukan diskusi dan mengerjakan soal-soal biologi dengan sahabatku yang juga sekelasku. Namanya Restya, dia adalah satu-satunya orang di sekolah yang percaya bahwa aku bisa lulus di SMA Kesehatan tersebut. Dia juga yang selalu memotivasi aku agar aku giat belajar dan pantang menyerah.

Hari-hari ku isi dengan belajar dan mengerjakan soal, aku juga selalu minta pendapat pada Tya ( panggilan akrabku untuk Restya ). Akhirnya waktu tes pertama pun telah tiba. Tes pertama cukup sulit, aku hampir blank karna gugup. Tapi untungnya semua berlalu dengan begitu lancarnya.

Pagi itu aku bergegas pergi untuk melihat pengumuman tes pertama. Tak disangka-sangka, aku bisa masuk dengan nilai yang bisa dibilang memuaskan. Tinggal beberapa tes lagi pikirku. Aku langsung ke rumah Tya untuk memberitahukan kabar gembira ini.
“Tya......’’ Teriakku di depan rumah Restya.
Tak berapa lama ada yang membuka pintu, “Kamu ini kenapa teriak di depan rumah orang sih? Bel ada kenapa harus teriak?” Tanya Tya dengan muka datar.
“Hehe, maaf deh. Aku kesenengan sampai lupa gini.” Jawabku meminta maaf.
“ Yaudah, masuk dulu.” Kata Tya mempersilakan masuk.
“Ok, sayang.” Kataku mesra, maklumlah kitakan cs.
Kamar Tya berada di lantai 2, sekedar info saja Restya ini adalah anak seorang pengusaha sukses. Kemewahan yang orangtuanya miliki tidak membuat dia sombong, orangnya sangat sederhana, bahkan kalau kamu gak kenal dia lebih lanjut mungkin kamu gak akan bisa nebak dari penampilannya dia anak orang kaya. Banyak yang nanya kenapa dia seperti itu, dia cuma bilang “Ngapain aku harus bermewah-mewah kalau kenyataannya kemewahan aku pakai adalah milik dan hasil kerja keras orangtuaku. My father always teach me if I wanna get the lux, I must get it with my own way and work.” Kurang keren apalagi temanku yang satu ini, selain baik dia juga pintar.
“Oh ya, kamu dapat undian apa jadi seneng banget kek gitu?’’. Tanya Tya dengan nada bercanda.
“Ini lebih bahagia dari sekedar dapat undian, kamu tau? Aku lulus seleksi pertama.” Ucapku sambil melompat dan memeluk sahabatku itu.
“Beneran? Wah selamat ya, tuh kan apa kata aku, kamu itu tuh punya bakat.” Balasnya.
“Hehe, iya sayang. Gimana kalau nanti kita makan, aku yang bayar deh.” Ucapku padanya.
“Nanti aja, nunggu kamu lulus tes terakhir aja. Mending kamu belajar lagi biar semuanya berjalan lancar.” Seperti biasa Tya selalu menolak tawaranku, dan memberi saran yang aku rasa masuk akal juga. Akupun pulang ke rumah dengan sangat gembira.

Tak terasa 2 hari berlalu. Pagi  itu tes kedua akan dilaksanakan, tak disangka hari mulai mendung, aku mulai bergegas menyalakan motorku karena takut akan kehujanan. Benar saja, di tengah perjalanan hujan mulai turun. Aku melihat kearah jam tangan yang ku pakai, astaga !!! 15 menit lagi tes akan dimulai. Aku mulai mempercepat laju kendaraanku, aku tak memperdulikan bajuku yang telah basah, yang ada dipikiranku hanya bagaimana caranya sampai di tempat tes tepat waktu.

Hujan yang begitu lebat mulai mengganggu penglihatanku. Saat aku menyalip kendaraan yang ada di depanku, aku tidak menyadari ada mobil yang melaju kencang dari arah berlawanan. ‘’Brrrkkkk’’. Tabrakan pun tak terhindarkan, aku tak sadarkan diri.

Bersambung...

Rabu, 01 April 2015

The Second Love

Cinta : tak kenal waktu, tak kenal tempat, tak kenal siapa-siapa, bisa menyerang siapa saja dengan cara yang tak terduga.

Cinta .... hm ... sudah terlalu lama semenjak cinta pertamaku dulu yang terpaksa kulupakan sebelum sempat diketahui pemiliknya. Aku hampir lupa bagaimana rasanya saat jatuh cinta, bahkan aku hampir saja lupa apa aku pernah mengalaminya akan tidak.

" Febby...... " teriak seseorang yang sepertinya aku kenal suaranya. Aku menengok ke arah suara.
" Hei.. rupanya kamu, Tha. Ada apa?" tanyaku pada Ditha, sahabat karibku.
"Jadikan malam nanti kita ke ultahnya Ghina?" tanya Ditha, hampir saja aku lupa.
"Ya jadilah, jemput gue yah nanti," ujarku mengiyakan.
"Ok. Gue masuk kelas dulu ya, jam pelajarannya ibu Henni nih, takut dihukum lagi gue Hehe," Ujarnya sambil berjalan ke kelasnya.
"Dasar si Ditha, main kabur aja. Hadehh..." ujarku.

Febby Restya Elghia Putri, ya itulah namaku. Agak terlalu panjang dan gak jelas apa artinya. Orang yang humoris tapi kadang bisa jadi orang yang paling pendiam sedunia. Orang yang pertama kali ketemu sama gue pasti bakal nganggep gue kalem, tapi kalian harus tau mungkin cuma Ditha dan Tuhan yang tau gimana gilanya gue.

Trauma, mungkin tepat untuk menggambarkan perasaan gue tentang cinta. Hmm.... dua tahun berkhayal dalam harapan mendapatkan cinta seorang cowok yang notabennya adalah sahabat gue sendiri emang gak mudah, ditambah dengan ketidakmampuan gue mengungkapkan perasaan gue. Ya maklumlah dalam pikiran gue, masa cewek sih yang nyatain cinta duluan. Sampai akhirnya gue nyesel-senyeselnya, ternyata dia sudah jadian sama teman gue juga.

Semenjak kejadian itu aku mulai menutup diri dari namanya cinta, dan mulai berusaha melupakan sang cinta pertama. Melupakan seseorang yang pernah ada di hati memang tak mudah, gak seperti teori-teori cinta yang selama ini gue pelajari. Lelah mencari cara melupakannya dan akhirnya gue nyerah, gue berhenti berusaha melupakan dan membiarkan rasa itu ada. Sampai suatu saat......

"Teng..tong..." bel rumahku berbunyi.
"Pasti si Ditha nih," pikirku. Akupun berlari ke pintu.
"Tuhkan tebakan gue bener, masuk Tha," ucap gue, sambil mempersilakan Ditha masuk.
"Tha, lu duduk dulu yah. Tunggu bentar gue mau ambil tas," gue langsung menuju kamar untuk mengambil barang yang gue perluin.
"Ok," jawab Ditha singkat.
Sesaat kemudiaan.....
"Berangkat yuk. Gue ikut mobil lu yah, mobil gue masih di bengkel," "yaudah kalau gitu," kami langsung menuju rumah Ghina.

Oh ya Ghina itu teman kami dari kecil, dia dulu tinggal di surabaya sama neneknya tapi sekarang balik lagi ke jakarta dan katanya sih mau masuk sekolah gue juga.

Sesampainya di rumah Ghina, kita langsung masuk dan mencari Ghina. Dan gak gue sangka ....

"Itu Ghina bukan sih, Tha? Cantik banget yah," ucapku sambil melongo tak percaya.
"Iya beda banget waktu dulu masih kecil, dia kan yang paling jelek dan culun. Tapi sekarang udah kek putri aja," balas Ditha yang juga tak percaya dengan apa kami lihat, kami langsung mendekatinya.
"Hei, kamu Ghina bukan?" Tanyaku ragu-ragu.
"Iya, masa kalian lupa sama aku sih? Dari kandungan udah temenan kok bisa lupa," ledek Ghina.
"Bukannya lupa, cuma agak ragu aja. Soalnya kamu cantik banget sih, beda sama dulu waktu kecil, hehe" ucapku.
"Bener tuh, kamu kok gak pernah jengukin kita disini sih? Hampir 5 lebih kayaknya kita gak ngumpul kek gini yah, kangen banget," Ditha ikut ngobrol.
"Hehe, maaf deh. Tapi akukan udah disini lagi bareng kalian ;) jadi kita bisa ngumpul lagi kek dulu," ujar Ghina.
"Yaudah deh, kapan kamu mulai masuk sekolah? Nanti kita jemput :D" kataku pada Ghina.
"Senin depan udah mulai sekolah, kalau mau jemput jangan telat yah, kamu kan telat mulu biasanya," balas ghina meledekku.
Seru sekali bercerita dengan Ghina, tak terasa waktu berlalu, kami disuruh makan. Karena tak kunjung mendapatkan meja yang kosong, akhirnya kami duduk bersama seorang cowok yang wajahnya cukup familiar bagi ku.
"Mas, boleh duduk di sini? Yang lain udah penuh semua nih," aku bertanya.
"Boleh, duduk aja kosong kok," katanya mempersilakan.
"Kayaknya kita sering ketemu tapi dimana yah?" Tanyaku memulai pembicaraan.
"Mbak lupa ya? Kita kan satu sekolah. Aku Rama kelas XI IPS 2," Jawabnya sambil mengenalkan diri.
"Aku Febby kelas XII IPA 3, pantes aja kek sering liat. Orang tiap hari lewat depan kelas kamu, hehe" Ucapku.
"Aku juga sering kok liat si mbaknya, tapi beda banget sama tampilan biasanya di sekolah," Kata Rama kelihatan sedikit bingung.
"Jangan panggil mbak dong, panggil Febby aja, gak beda jauh juga kok umur kita. Wah, emang kenapa sama penampilan aku? Ada yang salah yah?" Tanyaku kebingungan.
"Gak kok, kalau di sekolah ky gak peduli gitu sama penampilan, hehe" Ujarnya sambil tertawa kecil.
"Haha, emang gitu Febby mah, kalau gak gitu bukan Febby namanya," Ditha ikut bicara.
"Udahan dulu ngobrolnya, abisin dulu makanannya, keburu dingin," Ghina menyadarkan kami.

"Woyy... ngapain bengong gitu? Mikirin apaan sih Feb?" Ditha mengejutkanku.
"Kebiasaan ya lu itu, kalau gur jantungan gimana? Tega lu?" Kataku dengan sewot.
"Hehe, maaf maaf. Eh si Ghina masih di ruang kepala sekolah yah? Semoga aja dia masuk kelas gue," Ucap si Ditha.
"Enak aja, di kelas gue dong. Lagian gue juga duduk sendirian jadi pas tuh gue sama dia," Ujar gue berargumen.
"Kita liat aja nanti, jangan-jangan dia masuk di kelas lain," Ditha mengira-ngira.
"Semoga aja gak," Balasku.
"Amin... eh gue masuk dulu ya, itu ibu Ina udah otw tuh lu gak masuk apa?" Ujar Ditha menegurku.
"Masuklah, yaudah sana. Gue juga mau ke kelas," Sahutku.

Bersambung......