Langit mendung, terlihat awan-awan hitam mulai menutupi sebagian langit kota kali ini. Alam seolah paham, ia seolah ikut merasakan apa yang aku rasa. Air menetes tapi tak juga hujan, sama seperti air mata ini tak mampu juga aku jatuhkan.
Mungkin kita telah bertemu jauh sebelum aku benar-benar bisa mengingat namamu. Aku tersipu saat nenek mengatakan ingin menjodohkan kita, tapi aku saat itu terlalu kecil untuk memahaminya.
Rambut cepak, kaos tanpa lengan, celana jeans sobek selutut, begitu kiranya penampilanku saat pertama kali bertemu kamu. Sungguh bukan penampilan yang menarik untuk seorang gadis kelas 1 SMA, aku rasa.
Semenjak itu kita sering bertemu, tapi tak pernah bertegur sapa, tak pernah saling bicara. Hanya senyum yang sering kita lemparkan saat bertemu mata, tanpa ada kata yang terlontar pastinya.
Aku mengagumimu dalam diam. Aku ingat setiap pertemuan keluarga besar kita, makanan buatanmu selalu membuat aku ingin terus mencicipinya. Tak ada yang istimewa, hanya terasa penuh cinta.
Lama tak berjumpa, kita punya kakek yang sama namun nenek yang berbeda. Samar-samar aku ingat betapa khawatirnya kamu dengan kondisi kakek, kamu rela merelakan waktu liburmu yang hanya sebentar untuk menemaninya. Sedangkan aku? Ah, terlalu banyak alasan. Tak sibuk tapi disibuk-sibukkan.
Sampai saat itu kita masih tak saling bicara, duduk berdampingan tapi sama-sama diam tak bersuara. Seperti sibuk dalam dunia yang berbeda.
Pagi itu aku dikejutkan oleh kabar meninggalnya kakek, aku bingung, sedangkan aku masih ada final test saat itu. Dosen yang aku kabari tak merespon, aku putuskan untuk mengikuti ujian. Tak fokus, pikiranku terbagi-bagi. Setelah selesai, masih dalam seragam hitam putihku, aku harus menempuh jarak 140 lebih untuk sampai ke rumah.
Hanya 3 jam perjalanan! Masih sempat aku mengantarkan alm. Kakek, aku tak mau melakukan kesalahan kedua kalinya. Kamupun ada disana, masih sama seperti biasa. Tampak sibuk.
Aku ingat, ibu memintaku mengantarkanmu ke rumah kepala desa untuk mengurus surat izin kerja. Dan itu pertama kali kita bicara, bedua!
Entah apa yang aku pikirkan, mungkin aku sudah cukup dewasa untuk merasakan yang namanya cinta.
Aku bertanya pada ayah "Apakah sepupu boleh menikah?" dan kamu tahu siapa yang aku pikirkan, iya kamu.
"Boleh, memangnya kamu mau nikah sama siapa?" Aku hanya tersenyum kecil, tak salahkan jika aku berharap perjodohan dari nenek itu nyata?
Hari ini, aku baru merebahkan tubuhku setelah kuliah 4 sks. Ayah menelfon, aku sudah malas mengangkatnya karena aku kira ia akan kembali memintaku memeriksa data forlap diktinya.
Terdengar suara mama, badanku bergetar. Tak tahu harus berbuat apa, aku terdiam sejenak. Apa aku tidak bermimpi? Setelah bersiap, dan membatalkan janjiku hari ini, dan aku bergegas melajukan kendaraanku.
Sayup-sayup aku dengar isak tangis di rumahmu, Tuhan apa yang harus aku lakukan? Aku terlalu lemah untuk menangis, tak ada satupun air mata jatuh saat itu. Tak sempat aku melihat wajahmu untuk terakhir kalinya, tapi aku yakin bayangmu tak pernah hilang dari dalam jiwaku.
Ayahmu bercerita, tadi malam bahkan kamu mengatakan ingin membeli sepetak tanah untuk membuat rumah. Ah ini rupanya, selamat jalan Abang.
Meskipun kita tidak berjodoh saat ini, aku akan selalu berdoa agar Abang tenang disana. Walau masih tak percaya, tapi aku percaya Allah lebih menyayangi Abang. Dan kasih sayang Allah lebih besar daripada kami semua disini.
Terima kasih sudah pernah membuat aku merasakan rasanya ingin memiliki. :)
turut berduka cita, beng
BalasHapusentah knp pas baca tulisan km ni sekilas ingt lagunya isyana, tetap dalam jiwa.
klo aku penyiar radio ssh psti ku putarkan lagu ini gsan km.
nice sharing anyway, keep blogging.. 😉
ps: ini ketiga kalinya aku coba post komentar, klo gagal lg nyerah dah.. efek sampingnya bisa jd triple post ini, wkwk
Terima kasih sudah mau membacanya kakak hehe
HapusItu gin sambil mendengarkan lagu Isyana yang Tetap Dalam Jiwa lawan Mimpi 😁😁
Ok, satu ja pang nih komennya ka ai haha