Jam berdentang dua
kali, menunjukkan bahwa sekarang sudah pukul 2 pagi. Aku masih terjaga bersama
film yang sedang kuputar di laptopku. Malam semakin larut, sunyi sudah sejak
tadi menghampiri, bahkan suara jangkrikpun tak lagi menemani. Tiba-tiba aku
mendengar suara sepeda motor seperti berhenti di depan rumah, aku mulai
gemetar, takut dan gugup pun mulai bersatu padu. Pikiranku melayang tak tau
entah kemana, aku mulai berprasangka buruk. Tak lama kemudian suara kendaraan
itu terdengar seperti berjalan menjauh. Aku mulai tenang.
“Tok...tok...tokk”.
Tiba-tiba aku mendengar suara orang mengetuk pintu beberapa kali. Perasaanku
yang tadinya mulai tenang kini semakin gelisah tak menentu, otakku kembali
menampilkan imajiasi-imajiasi gila. Aku tak bisa lagi berpikir, badanku terasa
kaku tak bisa bergerak. Ku matikan laptopku. Suara ketukkan itu sudah tak lagi
terdengar, namun pikiranku masih liar. Yang ada dipikiranku itu mungkin adalah
perampok yang ingin merampok sekaligus membunuh keluargaku.
“Yah...”
Aku memberanikan diri keluar kamar dan memanggil ayahku.
“Hmm...
Ada apa?” Ayahku menyahut pelan, mungkin karena masih terlarut dalam
mimpi-mimpinya.
“Tadi
kayaknya ada orang ngetuk pintu, yah.” Aku bicara apa adanya.
“Ah
mungkin itu cuma perasaan kamu saja nak.” Sahut ayahku dari dalam kamar.
“Benar
yah, aku gak bohong.” Jawabku dalam kondisi ketakutan.
“Sudah,
tidur sana. Itu pasti gara-gara kebanyakan begadang.” Ibu mulai berkata.
Dengan perasaan yang masih tak
menentu, aku mulai menerima saran ibuku. Tapi aku tak berani masuk ke dalam
kamar sehingga aku putuskan untuk tidur di ruang keluarga. Mulai kunyalakan tv
dan berbaring di sofa panjang. Bukannya semakin tenang, perasaanku makin
gelisah, semakin dihantui bayangan tentang kematian dan pembunuhan. Acara tv
tak satupun yang bisa mengalihkan pikiran-pikiranku yang amat manakutkan itu.
“Yah,
tetap gak bisa tidur.” Aku kembali berteriak di depan kamar ayah ibuku. Tak
lama kemudian ayah keluar dan menemaniku tidur di ruang keluarga.
“Baca
surah An-Nas.” Kata Ayahku sembari memijat kakiku.
Aku
membaca surah An-Nas dalam hati berkali-kali, tapi tetap saja tak bisa tidur.
Jam sudah menunjukkan pukul 05.00 WITA, tapi mataku masih saja terjaga. Bayangan
tentang kematian itu semakin menjadi-jadi, aku mulai berpikir aku akan masuk
neraka dengan begitu banyaknya dosa yang aku perbuat, bahkan kalian tahu?
Mungkin terakhir kali aku sholat itu saat kelas 1 SMP, saking lamanya aku
sampai lupa baca-bacaan sholat. Aku mulai berpikir bagaimana caranya aku bisa
menghapus atau setidaknya mengurangi dosaku, terbersit jelas dibenakku untuk
bertobat dan kembali kejalan yang benar-benar lurus. Sejak saat itu aku
berjanji dalam hati untuk belajar tata cara sholat dan mulai mengaji lagi.
Oh ya aku sampai lupa, perkenalkan
namaku Hafizah Fikriah Waskan. Sampai saat ini mungkin aku sudah mengoleksi
lebih dari 100 nama panggilan, tapi kebanyakan memanggilku Hafizah atau Waskan.
Aku lahir dan dibesarkan di keluarga yang menurutku sangat sibuk, bahkan kita
hampir tak punya waktu untuk berbicara satu sama lain. Aku adalah anak pertama
dari tiga bersaudara, umurku baru menginjak 17 tahun dan aku anak perempuan
satu-satunya. Saat aku lahir, bidan yang membantu persalinan ibuku mengatakan
bahwa aku ini berjenis kelamin laki-laki karena tertutup tali pusar sampai
ayahku memberiku Muhammad tapi belum sempat memotong tali pusar sang bidan
menyadari bahwa aku ini ternyata perempuan, dan akhirnya namaku langsung
diganti menjadi Hafizah. Itu sekilas yang kutahu dari cerita ayahku, mungkin
karena itu juga aku jadi se-tomboy sekarang.
Besar dalam keluarga yang tak terlalu fanatik dengan agama membuatku tumbuh
dalam belenggu kebutaan tentang agama, meski tak sepenuhnya buta, mungkin bisa
dibilang hanya katarak saja.
Masa
liburku tinggal beberapa hari, sudah hari jum’at dan senin sudah harus kembali
bersekolah dengan status baru, siswa kelas XII. Ini sudah hampir seminggu dari
kejadian itu, tapi rasa takut masih saja menghantui hari-hariku, sampai aku tak
tahan lagi untuk membagi rasa ini
dengan ayahku. Beberapa jam saja terasa berhari-hari bagiku untuk menunggu
ayahku pulang dari kantornya. Akhirnya ayah dating.
“Yah, Rasanya gak enak banget. Rasa kepikiran bentar
lagi mau mati.” Ucapku tergugup-gugup.
“Ah itu mungkin cuma perasaan kamu saja.” Ayahku
menjawab dengan santainya.
“Coba pegang telapak kaki kamu, dingin gak?” Ayah
menyuruhku.
“Iya, lumayan dingin yah.”Balasku.
“Wah mungkin itu hanya efek maag dan stress, makanya
kamu jangan begadang-begadang lagi.” Tebak ayahku.
Beberapa
waktu berlalu, hari-hariku masih dihantui bayangan kematian dan neraka yang
selalu menghadang mengiringin setiap langkahku. Hari itu hari pertama sekolah
di semester 5, tepatnya semester 1 untuk kelas XII. Aku kira sekolah bias
membuat perasanku lebih baik, ternyata bukannya semakin baik tapi malah semakin
parah. Tiap ada kesempatan aku selalu berusaha menelfon kedua orang tuaku,
entah kenapa saat jauh dari mereka perasaan takutku semakin tinggi dan semakin
menghantui pikiranku.
“Waskan, kamu kenapa?” Tanya Laili, teman akrab yang
duduk bersampingan denganku.
“Gak papa kok, emang kenapa?” Aku bertanya balik.
“Gelagatmu aku lihat kayak cacing kepanasan, terus
mukamu juga pucat.” Lanli menjawab dengan nada setengah bertanya.
“Gakpapa, mungkin efek gugup jadi murid kelas XII.
Hehe” Aku tertawa kecil.
“Oh yasudah kalau begitu, misalnya kamu perlu bantuan
bilang ya.” Ucapnya.
“Iya.” Jawabku singkat.
Aku tak bisa berpikir logis, pelajaran tak ada satupun
yang masuk ke otakku. Pikiranku selalu saja melayang-layang, sebentar
memejamkan mata itu artinya aku harus siap merasakan ketakutan yang luar biasa.
Tertahan,
ingin teriak tapi tak bisa berucap. Mungkin sedikit menggambarkan perasaanku
saat itu. Hari-hari disekolah kulewati dengan kegelisahan, keringat dingin, dan
ketakutan. Ayahku mulai tak nyaman melihat kondisi yang semakin hari semakin
parah saja. Sampai memintakan air pada guru spiritualnya, sampai meminta guru
bimbingan konselingku, Pak Sarwani namanya, beliau juga merupakan guru ayahku
waktu SMA untuk mengetahui apa sebenarnya masalahku.
“Begini nak, bapak dapat laporan dari ayah kamu.
Katanya kamu lagi ada masalah ya? Ayo gak usah sungkan-sungkan cerita sama
bapak.” Pak Sarwani mulai membuka pembicaraan.
Aku mulai menceritakan yang sebenarnya aku rasakan,
aku berusaha jujur. Walaupun aku rasa ini sangat memalukan, tapi setdaknya
kalau au berbagi mungkin ada solusi.
“Justru kalau kamu ingat mati itu baik, kita jadi
lebih berhati-hati untuk melakukan sesuatu dan itu juga dianjurkan dalam
islam.Orang mau mati itu gak akan ingat mati.” Kata bapak Sarwani menanggapi
ceritaku.
Sejak saat itu aku merasa sedikit lebih tenang. Tapi
masih dalam bayangan kematian, rasa takut itu semakin menjadi-jadi ketika aku
berada jauh dari kedua orang tuaku.
Aku
punya pacar namanya Wian, setiap malam semenjak kejadian yang membuat aku
merasaan akan segera mati itu aku mulai menjauhinya, aku mulai jarang
menghubunginya, bahkan setiap hari aku selalu berbicara bahwa aku tak ingin
pacaran lagi tapi tidak minta putus. Sampai suatu hari, setelah aku
mempertimbangkan dengan sangat matang dan menggali lebih dalam tentang pacaran
dalam islam, aku akhirnya memberanikan diri minta putus darinya.
Hari
ini tepat 375 hari kami menjadi sepasang kekasih, sebenarnya aku sudah ingin
mengakhiri hubungan ini saat hari jadi kami yang pertama. Tapi pasti itu akan
sangat menyakiti hatinya.
Semua
telah berakhir, tak mungkin bisa dipertahankan…
Hanya
luka jika kita bersama, karena jalan ini memang berbeda…
Semua
yang terjadi tak akan kembali, jalan kita memang berbeda…
Namun
hati ini tak ingin kembali…
Kuyakin
kita ‘kan bahagia tanpa harus selalu bersama…
Tak
perlu disesali, tak usah ditangisi…
Catatan suaraku menyanyikan Lagu Jalan Terbaik dari
Seventeen ku kirim, ini masih terlalu pagi ya aku tau dipasti belum bangun.
Sekitar 10 menit kemudian,
“Apa maksud ikam ngirim voice note keitu? Handak ikam
apa?” Dia bertanya apa maksud dan tujuanku mengirim catatan suara seperti itu.
“Maaf, aku bujuran kada handak pacaran lagi. Aku
takutan. Aku handak bujur-bujur belajar islam. Tapi aku kada handak kita
bemusuhan, aku handak kita tetap bekawanan.” Aku menjelaskan bahwa aku tak
ingin lagi pacaran dan ingin belajr tentang islam, dan aku ingin tetap menjadi
temannya.
“Ok, mun kahandak ikam keitu.” Aku seperti mendengar
suara tangis tertahan, aku tau hatinya pasti sangat hancur. Sama saja hatiku
juga hancur, tapi aku tahu Allah pasti memberikan jalan dan kebahagian untukku.
Aku
masuk sekolah seperti biasa, iya masih dalam ketakutan walau sudah lebih lega.
Aku masih sering menelfon ayahku. Sepulang sekolah aku langsung menuju rumah,
diperjalanan aku terbayang lagi, ketakutan yang luar biasa kembali menghantui.
Laju kendaraan mulai ku turunkan, aku mulai berhati-hati. Tak henti-hentinya
ingatanku mengingat pada satu janji, aku akan belajar sholat dan itu belum aku
tepati. “Baiklah, aku harus belajar secepatnya.” Ucapku dalam hati.
Aku
mulai mencari buku cara sholat ditumpukkan buku-buku lamaku untung saja aku
menemukannya. Kubaca dan aku pahami setiap langkah, pertama aku belajar
berwudlu. Tidak terlalu mudah memang, ditambah lagi daya ingat otakku tidak
berjalan dengan sempurna. “Ini baru wudlu, gimana sholatnya ya?” pikirku
singkat. Tapi aku tetap berusaha belajar, mulai teratur semuanya meskipun
kadang suka lupa niatnya. Bersamaan dengan itu juga aku mulai belajar sholat,
tidak langsung praktik tapi mulai dari menghafal bacaan dan artinya. Setelah
aku rasa cukup, aku mulai mempraktikkannya. Mungkin banyak kesalahan, tapi seiring
berjalannya waktu aku sedikit demi sedikit belajar dan mencari tahu seperti apa
sholat yang benar itu.
“Waskan, ayo kita ke masjid.” Ajak seorang teman
akrabku, namanya Adelya Rahmah tapi cukup panggil dia Adel saja.
“Ayo!!” Aku menyahut dengan penuh semangat, walau
masih gugup karena baru belajar sholat dan takut kalau seandainya ada yang
salah.
Dalam posisi sholat, aku sangat gugup. Bagaimana
tidak, aku baru pertama kali ini sholat bersama teman walau tidak berjamaah,
aku semakin gugup saat melihat temanku sudah selesai sholat padahal aku baru
masuk rakaat kedua. Harap dimaklumi, aku masih belum bisa khusyuk dalam sholat
dan masih harus belajar banyak.
“Del, kamu kok sholatnya cepet banget?” Aku bertanya.
Adelpun menjelaskannya.
Hari-hariku
kini terasa lebih tenang, pikiran-pikiranku tentang kematian dan ketakutan
mulai bisa kujinakkan meskipun tak sepenuhnya. Kini aku lebih dekat dengan
Allah, Tuhanku yang maha segalanya. Pernah beberapa kali ketakutan itu muncul
kembali, tapi dalam situasi dan kondisi dimana aku mulai membelok lagi, mulai
melenceng dari jalan kebenaran.
Bukan
hanya hidup lebih tenang, aku bahkan tak menyangka bisa menjadi juara kelas
bahkan juara 2 untuk nilai ujian nasional jurusan IPA di sekolahku, meski hanya
masuk 10 besar kabupaten tapi aku sangat bersyukur. Seingatku aku sudah tidak
pernah mendapatkan juara 1 atau juara 2 semenjak SMP, padahal dulunya aku
selalu juara pertama di SD. Kalaupun dapat ranking 2 itu juga harus berbagi
tempat dan akhirnya terlempar menjadi yang ketiga.
Semenjak
perubahan itu juga aku lebih sering mewakili sekolahku untuk bermacam lomba dan
kegiatan, awalnya dulu mungkin hanya dua bulan sekali. Tapi sekarang bahkan aku
pernah dalam sehari mengikuti dua lomba sekaligus dalam 1 hari dan itu berbeda
kota. Bahkan teman-temanku memberiku gelar “Ratu
Dispens”.
Pernah
sekali aku mulai lelah, mulai hilang arah, mulai gundah lagi, saat itu aku
mengikuti beberapa test kuliah dan hasilnya nihil. Tapi saat aku melaksanakan
kewajibanku, prestasiku terus saja naik bahkan tanpa usaha yang berarti selain
sholat dan doa, aku sampai berpikir kalau sholat saja bisa membuatku begini,
bagaimana jika aku tambah dengan usaha keras? Pastinya akan sangat memuaskan
dan melebihi yang aku harapkan. Dan Kini aku percaya dan yakin bahwa Janji
Allah itu nyata.
“Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu.” QS.
AL-Baqarah (2: 153)