Minggu, 18 Oktober 2015

TITIK BALIK


              Jam berdentang dua kali, menunjukkan bahwa sekarang sudah pukul 2 pagi. Aku masih terjaga bersama film yang sedang kuputar di laptopku. Malam semakin larut, sunyi sudah sejak tadi menghampiri, bahkan suara jangkrikpun tak lagi menemani. Tiba-tiba aku mendengar suara sepeda motor seperti berhenti di depan rumah, aku mulai gemetar, takut dan gugup pun mulai bersatu padu. Pikiranku melayang tak tau entah kemana, aku mulai berprasangka buruk. Tak lama kemudian suara kendaraan itu terdengar seperti berjalan menjauh. Aku mulai tenang.
“Tok...tok...tokk”. Tiba-tiba aku mendengar suara orang mengetuk pintu beberapa kali. Perasaanku yang tadinya mulai tenang kini semakin gelisah tak menentu, otakku kembali menampilkan imajiasi-imajiasi gila. Aku tak bisa lagi berpikir, badanku terasa kaku tak bisa bergerak. Ku matikan laptopku. Suara ketukkan itu sudah tak lagi terdengar, namun pikiranku masih liar. Yang ada dipikiranku itu mungkin adalah perampok yang ingin merampok sekaligus membunuh keluargaku.
“Yah...” Aku memberanikan diri keluar kamar dan memanggil ayahku.
“Hmm... Ada apa?” Ayahku menyahut pelan, mungkin karena masih terlarut dalam mimpi-mimpinya.
“Tadi kayaknya ada orang ngetuk pintu, yah.” Aku bicara apa adanya.
“Ah mungkin itu cuma perasaan kamu saja nak.” Sahut ayahku dari dalam kamar.
“Benar yah, aku gak bohong.” Jawabku dalam kondisi ketakutan.
“Sudah, tidur sana. Itu pasti gara-gara kebanyakan begadang.” Ibu mulai berkata.

            Dengan perasaan yang masih tak menentu, aku mulai menerima saran ibuku. Tapi aku tak berani masuk ke dalam kamar sehingga aku putuskan untuk tidur di ruang keluarga. Mulai kunyalakan tv dan berbaring di sofa panjang. Bukannya semakin tenang, perasaanku makin gelisah, semakin dihantui bayangan tentang kematian dan pembunuhan. Acara tv tak satupun yang bisa mengalihkan pikiran-pikiranku yang amat manakutkan itu.
“Yah, tetap gak bisa tidur.” Aku kembali berteriak di depan kamar ayah ibuku. Tak lama kemudian ayah keluar dan menemaniku tidur di ruang keluarga.
“Baca surah An-Nas.” Kata Ayahku sembari memijat kakiku.
Aku membaca surah An-Nas dalam hati berkali-kali, tapi tetap saja tak bisa tidur. Jam sudah menunjukkan pukul 05.00 WITA, tapi mataku masih saja terjaga. Bayangan tentang kematian itu semakin menjadi-jadi, aku mulai berpikir aku akan masuk neraka dengan begitu banyaknya dosa yang aku perbuat, bahkan kalian tahu? Mungkin terakhir kali aku sholat itu saat kelas 1 SMP, saking lamanya aku sampai lupa baca-bacaan sholat. Aku mulai berpikir bagaimana caranya aku bisa menghapus atau setidaknya mengurangi dosaku, terbersit jelas dibenakku untuk bertobat dan kembali kejalan yang benar-benar lurus. Sejak saat itu aku berjanji dalam hati untuk belajar tata cara sholat dan mulai mengaji lagi.

            Oh ya aku sampai lupa, perkenalkan namaku Hafizah Fikriah Waskan. Sampai saat ini mungkin aku sudah mengoleksi lebih dari 100 nama panggilan, tapi kebanyakan memanggilku Hafizah atau Waskan. Aku lahir dan dibesarkan di keluarga yang menurutku sangat sibuk, bahkan kita hampir tak punya waktu untuk berbicara satu sama lain. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara, umurku baru menginjak 17 tahun dan aku anak perempuan satu-satunya. Saat aku lahir, bidan yang membantu persalinan ibuku mengatakan bahwa aku ini berjenis kelamin laki-laki karena tertutup tali pusar sampai ayahku memberiku Muhammad tapi belum sempat memotong tali pusar sang bidan menyadari bahwa aku ini ternyata perempuan, dan akhirnya namaku langsung diganti menjadi Hafizah. Itu sekilas yang kutahu dari cerita ayahku, mungkin karena itu juga aku jadi se-tomboy sekarang. Besar dalam keluarga yang tak terlalu fanatik dengan agama membuatku tumbuh dalam belenggu kebutaan tentang agama, meski tak sepenuhnya buta, mungkin bisa dibilang hanya katarak saja.

Masa liburku tinggal beberapa hari, sudah hari jum’at dan senin sudah harus kembali bersekolah dengan status baru, siswa kelas XII. Ini sudah hampir seminggu dari kejadian itu, tapi rasa takut masih saja menghantui hari-hariku, sampai aku tak tahan lagi untuk membagi rasa ini dengan ayahku. Beberapa jam saja terasa berhari-hari bagiku untuk menunggu ayahku pulang dari kantornya. Akhirnya ayah dating.
“Yah, Rasanya gak enak banget. Rasa kepikiran bentar lagi mau mati.” Ucapku tergugup-gugup.
“Ah itu mungkin cuma perasaan kamu saja.” Ayahku menjawab dengan santainya.
“Coba pegang telapak kaki kamu, dingin gak?” Ayah menyuruhku.
“Iya, lumayan dingin yah.”Balasku.
“Wah mungkin itu hanya efek maag dan stress, makanya kamu jangan begadang-begadang lagi.” Tebak ayahku.

            Beberapa waktu berlalu, hari-hariku masih dihantui bayangan kematian dan neraka yang selalu menghadang mengiringin setiap langkahku. Hari itu hari pertama sekolah di semester 5, tepatnya semester 1 untuk kelas XII. Aku kira sekolah bias membuat perasanku lebih baik, ternyata bukannya semakin baik tapi malah semakin parah. Tiap ada kesempatan aku selalu berusaha menelfon kedua orang tuaku, entah kenapa saat jauh dari mereka perasaan takutku semakin tinggi dan semakin menghantui pikiranku.
“Waskan, kamu kenapa?” Tanya Laili, teman akrab yang duduk bersampingan denganku.
“Gak papa kok, emang kenapa?” Aku bertanya balik.
“Gelagatmu aku lihat kayak cacing kepanasan, terus mukamu juga pucat.” Lanli menjawab dengan nada setengah bertanya.
“Gakpapa, mungkin efek gugup jadi murid kelas XII. Hehe” Aku tertawa kecil.
“Oh yasudah kalau begitu, misalnya kamu perlu bantuan bilang ya.” Ucapnya.
“Iya.” Jawabku singkat.
Aku tak bisa berpikir logis, pelajaran tak ada satupun yang masuk ke otakku. Pikiranku selalu saja melayang-layang, sebentar memejamkan mata itu artinya aku harus siap merasakan ketakutan yang luar biasa.

            Tertahan, ingin teriak tapi tak bisa berucap. Mungkin sedikit menggambarkan perasaanku saat itu. Hari-hari disekolah kulewati dengan kegelisahan, keringat dingin, dan ketakutan. Ayahku mulai tak nyaman melihat kondisi yang semakin hari semakin parah saja. Sampai memintakan air pada guru spiritualnya, sampai meminta guru bimbingan konselingku, Pak Sarwani namanya, beliau juga merupakan guru ayahku waktu SMA untuk mengetahui apa sebenarnya masalahku.
“Begini nak, bapak dapat laporan dari ayah kamu. Katanya kamu lagi ada masalah ya? Ayo gak usah sungkan-sungkan cerita sama bapak.” Pak Sarwani mulai membuka pembicaraan.
Aku mulai menceritakan yang sebenarnya aku rasakan, aku berusaha jujur. Walaupun aku rasa ini sangat memalukan, tapi setdaknya kalau au berbagi mungkin ada solusi.
“Justru kalau kamu ingat mati itu baik, kita jadi lebih berhati-hati untuk melakukan sesuatu dan itu juga dianjurkan dalam islam.Orang mau mati itu gak akan ingat mati.” Kata bapak Sarwani menanggapi ceritaku.
Sejak saat itu aku merasa sedikit lebih tenang. Tapi masih dalam bayangan kematian, rasa takut itu semakin menjadi-jadi ketika aku berada jauh dari kedua orang tuaku.

            Aku punya pacar namanya Wian, setiap malam semenjak kejadian yang membuat aku merasaan akan segera mati itu aku mulai menjauhinya, aku mulai jarang menghubunginya, bahkan setiap hari aku selalu berbicara bahwa aku tak ingin pacaran lagi tapi tidak minta putus. Sampai suatu hari, setelah aku mempertimbangkan dengan sangat matang dan menggali lebih dalam tentang pacaran dalam islam, aku akhirnya memberanikan diri minta putus darinya.

            Hari ini tepat 375 hari kami menjadi sepasang kekasih, sebenarnya aku sudah ingin mengakhiri hubungan ini saat hari jadi kami yang pertama. Tapi pasti itu akan sangat menyakiti hatinya.
Semua telah berakhir, tak mungkin bisa dipertahankan…
Hanya luka jika kita bersama, karena jalan ini memang berbeda…
Semua yang terjadi tak akan kembali, jalan kita memang berbeda…
Namun hati ini tak ingin kembali…
Kuyakin kita ‘kan bahagia tanpa harus selalu bersama…
Tak perlu disesali, tak usah ditangisi…
Catatan suaraku menyanyikan Lagu Jalan Terbaik dari Seventeen ku kirim, ini masih terlalu pagi ya aku tau dipasti belum bangun. Sekitar 10 menit kemudian,
“Apa maksud ikam ngirim voice note keitu? Handak ikam apa?” Dia bertanya apa maksud dan tujuanku mengirim catatan suara seperti itu.
“Maaf, aku bujuran kada handak pacaran lagi. Aku takutan. Aku handak bujur-bujur belajar islam. Tapi aku kada handak kita bemusuhan, aku handak kita tetap bekawanan.” Aku menjelaskan bahwa aku tak ingin lagi pacaran dan ingin belajr tentang islam, dan aku ingin tetap menjadi temannya.
“Ok, mun kahandak ikam keitu.” Aku seperti mendengar suara tangis tertahan, aku tau hatinya pasti sangat hancur. Sama saja hatiku juga hancur, tapi aku tahu Allah pasti memberikan jalan dan kebahagian untukku.

            Aku masuk sekolah seperti biasa, iya masih dalam ketakutan walau sudah lebih lega. Aku masih sering menelfon ayahku. Sepulang sekolah aku langsung menuju rumah, diperjalanan aku terbayang lagi, ketakutan yang luar biasa kembali menghantui. Laju kendaraan mulai ku turunkan, aku mulai berhati-hati. Tak henti-hentinya ingatanku mengingat pada satu janji, aku akan belajar sholat dan itu belum aku tepati. “Baiklah, aku harus belajar secepatnya.” Ucapku dalam hati.

            Aku mulai mencari buku cara sholat ditumpukkan buku-buku lamaku untung saja aku menemukannya. Kubaca dan aku pahami setiap langkah, pertama aku belajar berwudlu. Tidak terlalu mudah memang, ditambah lagi daya ingat otakku tidak berjalan dengan sempurna. “Ini baru wudlu, gimana sholatnya ya?” pikirku singkat. Tapi aku tetap berusaha belajar, mulai teratur semuanya meskipun kadang suka lupa niatnya. Bersamaan dengan itu juga aku mulai belajar sholat, tidak langsung praktik tapi mulai dari menghafal bacaan dan artinya. Setelah aku rasa cukup, aku mulai mempraktikkannya. Mungkin banyak kesalahan, tapi seiring berjalannya waktu aku sedikit demi sedikit belajar dan mencari tahu seperti apa sholat yang benar itu.
“Waskan, ayo kita ke masjid.” Ajak seorang teman akrabku, namanya Adelya Rahmah tapi cukup panggil dia Adel saja.
“Ayo!!” Aku menyahut dengan penuh semangat, walau masih gugup karena baru belajar sholat dan takut kalau seandainya ada yang salah.
Dalam posisi sholat, aku sangat gugup. Bagaimana tidak, aku baru pertama kali ini sholat bersama teman walau tidak berjamaah, aku semakin gugup saat melihat temanku sudah selesai sholat padahal aku baru masuk rakaat kedua. Harap dimaklumi, aku masih belum bisa khusyuk dalam sholat dan masih harus belajar banyak.
“Del, kamu kok sholatnya cepet banget?” Aku bertanya. Adelpun menjelaskannya.

            Hari-hariku kini terasa lebih tenang, pikiran-pikiranku tentang kematian dan ketakutan mulai bisa kujinakkan meskipun tak sepenuhnya. Kini aku lebih dekat dengan Allah, Tuhanku yang maha segalanya. Pernah beberapa kali ketakutan itu muncul kembali, tapi dalam situasi dan kondisi dimana aku mulai membelok lagi, mulai melenceng dari jalan kebenaran.

            Bukan hanya hidup lebih tenang, aku bahkan tak menyangka bisa menjadi juara kelas bahkan juara 2 untuk nilai ujian nasional jurusan IPA di sekolahku, meski hanya masuk 10 besar kabupaten tapi aku sangat bersyukur. Seingatku aku sudah tidak pernah mendapatkan juara 1 atau juara 2 semenjak SMP, padahal dulunya aku selalu juara pertama di SD. Kalaupun dapat ranking 2 itu juga harus berbagi tempat dan akhirnya terlempar menjadi yang ketiga.

            Semenjak perubahan itu juga aku lebih sering mewakili sekolahku untuk bermacam lomba dan kegiatan, awalnya dulu mungkin hanya dua bulan sekali. Tapi sekarang bahkan aku pernah dalam sehari mengikuti dua lomba sekaligus dalam 1 hari dan itu berbeda kota. Bahkan teman-temanku memberiku gelar “Ratu Dispens”.

            Pernah sekali aku mulai lelah, mulai hilang arah, mulai gundah lagi, saat itu aku mengikuti beberapa test kuliah dan hasilnya nihil. Tapi saat aku melaksanakan kewajibanku, prestasiku terus saja naik bahkan tanpa usaha yang berarti selain sholat dan doa, aku sampai berpikir kalau sholat saja bisa membuatku begini, bagaimana jika aku tambah dengan usaha keras? Pastinya akan sangat memuaskan dan melebihi yang aku harapkan. Dan Kini aku percaya dan yakin bahwa Janji Allah itu nyata.

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.” QS. AL-Baqarah (2: 153)

0 komentar:

Posting Komentar